image

Catatan Ketua MPR RI : Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR

Kamis, 04 Mei 2023 10:20 WIB

Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)

KETERWAKILAN dan partisipasi semua elemen rakyat dalam mekanisme dan proses permusyawaratan pada lembaga tertinggi negara adalah keniscayaan, berpijak pada fakta kodrat kebhinekaan negara-bangsa. Karena kodrat kebhinekaan itulah, Utusan Golongan pada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pun menjadi keniscayaan pula. Utusan Golongan dalam struktur MPR menjadi perekat kesatuan dan persatuan yang menjaga dan merawat eksistensi NKRI.

Ketika negara-bangsa dewasa ini terus menghadapi berbagai tantangan dan ancaman ideologi yang coba menggoyahkan fondasi keutuhan NKRI dan Pancasila, gagasan atau pemikiran tentang urgensi penguatan aspek ketatanegaraan menjadi sangat jelas relevansinya. Bahkan, jika mengacu pada tantangan dan ancaman era terkini, agenda penguatan aspek ketatanegaraan yang dirasakan cukup mendesak adalah mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan menghadirkan lagi unsur Utusan Golongan di dalamnya.

Sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang merubah UUD Negara 1945, mengangkat dan memberhentikan presiden/wakil presiden sangat relevan jika MPR kembali diberi amanat melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya seturut UUD 1945. Dan, atas nama kedaulatan rakyat pula, MPR pun kembali berwenang menerbitkan Ketetapan (Tap) MPR yang mengikat (regeling). Terutama kebutuhan akan Tap MPR untuk merespons dan menangani krisis politik atau krisis konstitusi. Kebutuhan akan Tap MPR yang solutif dan efektif, dengan demikian, memenuhi hierarki perundang-undangan sebagaimana sudah ditetapkan  dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011; yakni UUD, ketetapan MPR, Undang Undang, Perpu Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah (Perda).

Unsur Utusan Golongan di MPR tak hanya merefleksikan kebhinekaan negara-bangsa, tetapi dia juga sekaligus menjadi penjelasan kepada rakyat tentang terserapnya aspirasi semua golongan dan terpenuhinya kesepakatan semua elemen bangsa yang berdaulat atas setiap Tap MPR yang mengikat itu. Artinya, setiap Tap MPR yang diterbitkan dan berlaku mengikat itu tidak dilandasi kepentingan kelompok, golongan atau kekuatan politik tertentu,melainkan semata-mata untuk dan atas nama kemaslahatan bangsa; terjaganya persatuan dan kesatuan, kokohnya NKRI dan tangguhnya ketahanan nasional. Dengan begitu, unsur Utusan Golongan sejatinya memberi bobot tambahan pada aspek ketahanan nasional.

Ragam tantangan negara-bangsa dewasa ini sudah menjadi fakta tak terbantahkan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri. Termasuk tentu saja tantangan dan ancaman terhadap ideologi bangsa, yang selalu saja berpotensi mengganggu ketahanan nasional, menggoyahkan keutuhan NKRI, serta merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketika sekelompok warga negara menolak falsafah Pancasila serta menolak menghormati bendera Merah-Putih, itu adalah wujud ancaman ideologi yang dibangun melalui proses panjang indoktrinasi pemikiran. Dibawa dari luar, indoktrinasi pemikiran seperti itu kemudian disosialisasikan dengan gencar dan berkesinambungan di berbagai forum pertemuan kelompok-kelompok warga.

Mereka yang menelan mentah-mentah indoktrinasi itu lalu membangun kekuatan untuk melawan negara-bangsanya sendiri. Indonesia masih dan sedang mengalami kecenderungan itu. Salah satu indikatornya adalah fakta tentang aktivitas aparat negara memerangi kelompok kekuatan bersenjata dan penangkapan terhadap para terduga teroris.

Selain itu, keberhasilan indoktrinasi ideologi asing itu pun telah ikut mengubah cara pandang dan perilaku sebagian masyarakat. Hari-hari ini, misalnya, generasi kakek-nenek dan sebagian generasi orang tua melihat dan merasakan bahwa tatanan sosial dalam masyarakat telah berubah dengan cukup ekstrim, karena tidak lagi berpijak pada norma-norma kultural atau budaya serta kearifan lokal di setiap daerah. Perbedaan, yang di masa lalu merefleksikan keindahan, kekuatan dan kekayaan, sekarang justru sering dijadikan sumber masalah yang menyulut maraknya ujaran kebencian.

Sebagaimana dipahami dan sering dilihat bersama, mayoritas golongan dalam masyarakat Indonesia sudah lama terusik dengan ancaman radikalisme yang sudah berhasil menyusup ke dalam birokrasi negara. Muncul juga kekecewaan mendalam melihat kuatnya kecenderungan menyerap budaya asing yang bertujuan mengeliminasi budaya dan kearifan lokal. Mayoritas golongan dalam masyarakat pun tidak nyaman dengan menguatnya politik identitas yang nyata-nyata telah mencabik-cabik budaya rukun.

Ragam tantangan dan ancaman itu, termasuk korupsi yang semakin merajalela, berpotensi menjadi benih bagi tumbuhnya krisis politik dan krisis konstitusi di kemudian hari. Patut disyukuri karena hingga saat ini, mayoritas golongan dalam masyarakat masih bijak, dan mau memberi toleransi atas ragam ancaman yang berpotensi melemahkan pondasi keutuhan NKRI itu. Masyarakat pun tetap bersabar setiap kali menyimak berita tentang maraknya korupsi. Sesekali mengungkap kejengkelan, masyarakat hanya bisa menyuarakan ancaman tidak akan bayar pajak lagi. Namun, siapa yang bisa mengukur atau menghitung durasi kesabaran masyarakat itu?

Untuk memampukan negara-bangsa mengantisipasi potensi krisis itulah diperlukan penguatan pada aspek ketatanegaraan, dengan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, serta menghadirkan kembali unsur Utusan Golongan di dalamnya.  Menghadirkan kembali Utusan Golongan yang Merah-Putih dan Pancasilais di MPR memang patut dikaitkan dengan tantangan negara-bangsa, kini dan di masa depan. Sebab, pada akhirnya akan diperlukan kesepakatan semua elemen rakyat pada unsur Utusan Golongan untuk merespons tantangan dan ancaman itu, yang kesepakatannya kemudian dituangkan dalam Tap MPR.

Utusan golongan di MPR dihapus melalui amandemen UUD 1945. Ada tiga pertimbangan yang melatarbelakangi penghapusan utusan golongan. Pertama, pandangan bahwa pelaksanaan demokrasi langsung yang dimanifestasikan dalam pemilihan secara langsung dinilai lebih demokratis, sehingga utusan golongan melalui penunjukan dianggap tidak sesuai.

Kedua, pandangan perlunya penyederhanaan sistem perwakilan, yakni hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang mewakili dua unsur representasi, yaitu representasi politik (DPR) dan representasi daerah (DPD), sedangkan representasi golongan dapat diwakili dan disalurkan melalui lembaga perwakilan yang sudah ada, khususnya DPD. Ketiga, dalam praktiknya, penunjukan utusan golongan oleh presiden dinilai cenderung mewakili kepentingan pemerintah yang mengangkatnya, dan bukan kepentingan rakyat atau golongan yang diwakilinya.

Tentu saja tiga pertimbangan itu bisa diterima. Namun, zaman berubah dan tantangan negara-bangsa pun berubah. Ketika Utusan Golongan dihapus dari MPR, Indonesia belum menghadapi fakta persoalan tentang radikalisme dan rongrongan terhadap Pancasila dan terhadap keutuhan NKRI. Semuanya waktu itu hanyut dalam euphoria demokrasi. Namun, hari-hari ini, ancaman ideologi itu nyata, dan setiap saat bisa menjerumuskan negara-bangsa ke situasi krisis.

Dalam konteks Indonesia, praktik kehidupan demokrasi dijiwai oleh sila keempat Pancasila, yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan. Mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan idealnya dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi. Misalnya, melalui representasi politik yang sudah terwadahi dalam DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD RI, serta representasi golongan atau kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam Utusan Golongan.

Jangan lupa bahwa eksistensi Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan sejatinya merupakan amanat yang diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan, demi mengakomodasi karakteristik rakyat Indonesia yang sangat plural dan heterogen. Bahkan, dalam konteks kekinian, eksistensi Utusan Golongan dapat dipandang sebagai ikhtiar memenuhi keadilan peran politik secara menyeluruh, sekaligus menjadi penyeimbang peran dari keterwakilan politik yang dipegang DPR dan keterwakilan daerah di tangan DPD.


Anggota Terkait :

Dr. H. BAMBANG SOESATYO, S.E., S.H., M.B.A.