image

Pidato Ketua MPR Pada Sidang Paripurna MPR Dalam Rangka Sidang Tahunan MPR Tahun 2016

Selasa, 16 Agustus 2016 12:09 WIB

Sidang Majelis dan hadirin yang kami muliakan,

Sebagai insan yang beriman, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Waa ta‘ala, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kita semua diberikan kekuatan dan kesehatan untuk menjalankan tugas konstitusional serta pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Atas nama seluruh Anggota MPR, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia atas perhatian dan kehadirannya dalam penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh Pimpinan Lembaga Negara atas dukungannya, bersama MPR mewujudkan penyelenggaraan negara yang lebih terbuka dan akuntabel, lebih demokratis dan konstitusional melalui sidang tahunan ini sebagai pelaksanaan asas kedaulatan rakyat.

Sesuai dengan amanat konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga negara, lembaga perwakilan dan lembaga demokrasi memiliki kedudukan penting dan strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan yang diamanatkan oleh konstitusi sungguhlah mulia, yakni  mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, konstitusi negara, norma hukum tertinggi yang mengatur seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Tugas yang dimandatkan oleh Undang-Undang juga sangatlah mulia yakni menanamkan nilai-niai luhur dan jatidiri bangsa kepada seluruh elemen masyarakat, bangsa dan negara di seluruh wilayah tanah air Indonesia. Sungguh tugas yang tidaklah ringan, dan tanggung jawab yang tidaklah mudah, karena membangun karakter bangsa adalah membangun manusia seutuhnya. 

Ikhtiar membumikan dan membunyikan nilai-nilai luhur bangsa telah dan terus dilaksanakan MPR melalui program pemasyarakatan “ Empat Pilar MPR “ yakni Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara, agar dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa dan setiap generasi. 


Sidang Majelis dan hadirin yang kami muliakan,

Esok 17 Agustus 2016, Indonesia berusia 71 tahun. Saat itu, atas nama bangsa Indonesia, Sukarno dan Hatta memproklamirkan lahirnya sebuah negara baru : Indonesia.

Makin sulit saja kita menemukan saksi hidup yang hadir pada peristiwa bersejarah itu. Karena itu, ada baiknya kami nukilkan kisah proklamasi tersebut sebagaimana dituturkan Bung Karno:

“Proklamasi itu pendek saja...pernyataan singkat yang tidak menggetarkan perasaan...pernyataan ini tidak dipahatkan di atas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas dari buku tulis anak sekolah. Aku menyobeknya selembar dan dengan tanganku sendiri menuliskan kata-kata proklamasi di atas garis-garis biru itu.”

Bung Hatta juga memiliki kisah tentang pembuatan teks proklamasi. Bung Karno meminta Bung Hatta saja yang membuatnya. “Bahasanya saya anggap yang terbaik,” kata Bung Karno. Lalu Bung Hatta menjawab, “Lebih baik Bung menuliskan, saya mendiktekannya.”

Dialog dua proklamator ini demikian manis untuk dikenang, demikian syahdu untuk direnungkan. Mereka saling menghormati, saling mengetahui peran dan kelebihan masing-masing. Mereka saling melengkapi, menyatu dan bersatu. 

Keduanya benar-benar menggambarkan dan mewakili suasana kebatinan seluruh rakyat. Tanpa ada persatuan tak akan lahir Indonesia. Tanpa persatuan tak akan bertahan Indonesia hingga berbilang abad ke depan. Tanpa persatuan tak akan ada kemajuan. Tanpa persatuan tak kan ada keadilan dan kemakmuran bersama. Bersatu, bersatu, bersatu. Itu yang dibutuhkan dari dulu, kini, esok hari, hingga seterusnya.

Tapi, mari kita bertanya pada diri masing-masing. Apakah semangat persatuan itu masih ada? Jawabannya jelas: Masih. Tapi pada saat yang bersamaan kita juga merasa waswas. Kita selalu dihinggapi kekhawatiran lepasnya lagi sebagian wilayah kita seperti Timor Timur dan Sipadan-Ligitan di masa lalu.

Perlu kita camkan, persatuan dalam makna yang luas tak hanya menyangkut keutuhan wilayah, tapi juga persatuan dalam memperjuangkan kepentingan nasional di bidang ekonomi. Kita harus bersatu dalam soal ekonomi dalam konteks hubungan antarbangsa maupun antar kita sendiri. 


Sidang Majelis dan hadirin yang kami muliakan,

Tanpa terasa reformasi telah berjalan 18 tahun. Banyak kemajuan yang telah dicapai : Otonomi Daerah, Pemilu dan Pilpres langsung serta Pemilihan Kepala Daerah. Reformasi membuka jalan bagi siapapun untuk menjadi apapun. Banyak lagi yang telah kita capai dan dunia internasional pun mengakui capaian ini

Namun, Demokrasi tak hanya prosedur dan kelembagaan tapi juga harus ada etika dari pelaku-pelakunya. Harus ada penghayatan dan kesadaran yang kuat agar demokrasi menjadi indah dan bernyawa. Agar ada batas dan pertanggungjawaban kepada publik. Jangan sampai Politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran.

Demokrasi juga menuntut gagasan dan idealisme. Apakah idealisme itu masih menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Jawabannya mantap: Masih. Gagasan dan idealisme dibutuhkan agar selalu ada pembaruan dan pencerahan yang terus menerus. Agar kita tak terjebak pada pragmatisme, hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Semuanya berporos pada kepentingan nasional, bukan kepentingan individu, keluarga, atau kelompoknya.

Kita tahu kesenjangan ekonomi kita demikian lebar. Masalah disparitas ini bukan semata soal mentalitas manusia tapi memang karena ada problem-problem struktural. Hal itu hanya bisa diubah dengan intervensi negara. Pemerintah bisa memberikan arahan, membuka jalan, menyiapkan jalur, bahkan menyiapkan sarananya. Ini akan sangat membantu pelaku usaha kecil dan menengah, maupun pemula.

Persatuan di bidang ekonomi adalah kebutuhan mendesak bangsa Indonesia. Jangan biarkan kantong-kantong usaha kecil terus tergusur. Jangan biarkan tenaga kerja kita dipinggirkan tenaga kerja asing, apalagi di saat masalah pengangguran masih tak terselesaikan.

Perbedaan pendapat tak akan memicu ledakan, tapi perbedaan pendapatan yang menganga lebar akan menjadi celah bagi magma untuk menyembur dan kemudian meledakkan gunung sosial kita. Solidaritas sosial mudah roboh jika cita-cita kebajikan dan kesejahteraan bersama tak terpenuhi. 

Bila demokrasi hanya memberi keuntungan bagi segelintir orang, seraya meminggirkan sebagian besar orang, sekuat apapun rasa persatuan kita pada akhirnya bisa pecah. Kemiskinan dan kesenjangan adalah lahan subur bagi fundamentalisme, terorisme dan radikalisme.


Sidang Majelis dan hadirin yang kami muliakan,

Sebuah jajak pendapat menyentakkan kesadaran kita. Ternyata sikap positif seperti berani mengakui kesalahan, jujur dan amanah, serta tunduk pada aturan hukum belum sepenuhnya menjadi karakter masyarakat Indonesia. 

Jajak pendapat itu juga menemukan makin lemahnya persatuan, tergerusnya perilaku bermusyawarah, melemahnya kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, makin jauhnya perwujudan sila kelima Pancasila dan belum memadainya peran negara dalam mewujudkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ini membuktikan ada problem serius pada pembangunan karakter elite dan masyarakat kita. Ada kesenjangan antara realitas dan cita-cita. Ini akibat suburnya egoisme individual dan materialisme hedonis pada satu sisi dan keringnya aspek batin dan spiritual pada sisi yang lain. Saat ini kita menyaksikan begitu mudahnya sikap intoleran dan pudarnya nilai-nilai luhur ke-Indonesiaan kita. 


Sidang Majelis dan hadirin yang kami muliakan,

Sebagai bangsa majemuk kita tak boleh meremehkan kekerasan sosial dan intoleransi. Ini bisa menjadi ancaman serius dan sewaktu-waktu menjadi eskalatif.

Namun syukur alhamdulillah, berkat kerja keras pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur begitu giat dikerjakan. Pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandara begitu gencar. Ini akan menjaga konektivitas negara kepulauan dan sebagai negara yang terbentang luas. Ini akan membuat kita menjadi mudah melakukan mobilisasi, membuat kita saling mengenal, dan menjadi jalan yang cepat bagi pemerataan ekonomi. Apalagi didukung dengan dana desa dan kredit murah. Semoga ke depan tak ada lagi disintegrasi nasional, intoleransi, dan kekerasan sosial. Kami juga berterimakasih kepada TNI dan POLRI yang telah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai lembaga penghimpun dan penyerap aspirasi masyarakat, MPR menangkap kuatnya kehendak masyarakat untuk menghidupkan kembali haluan negara. Dulu kita menamakannya Pembangunan Semesta Berencana dan kemudian Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ini agar kepentingan nasional kita terukur, terencana, terwujud serta tak berhenti di pidato dan pada saat kampanye saja.

Kami meyakini pentingnya haluan negara agar kekuasaan tak diselewengkan oleh selera pribadi dan kelompok serta golongan. Haluan negara menjadi rambu agar negeri ini tak mudah goyah oleh pergulatan global dan asing. Isi dan substansi haluan negara harus menegaskan bahwa sumber daya alam memberi manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Haluan negara menjadi arah dan visi menuju bangsa produktif dan berdaya saing tinggi. 

Kita diamanatkan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang dan jembatan emas menuju cita-cita proklamasi. Tapi sampai kapan kita berada di gerbang dan jembatan itu? Kita butuh haluan negara yang menjadi dasar bagi kita bersama untuk mencapai cita-cita itu. Agar kita tak jalan di tempat. Agar kita tak tersesat. Agar kita tak jatuh dari jembatan itu. 

Indonesia memerlukan haluan penyelenggaraan negara yang akan menjadi pedoman dasar (guiding principles) dan arahan dasar (directive principles).

Dengan segala kerendahan hati, kami mengajak Mari kita duduk bersama untuk merumuskan haluan negara itu. Haluan negara untuk memenuhi janji kebangsaan kita : Kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia


Jakarta, 16 Agustus 2016


PIMPINAN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA



Dr. ZULKIFLI HASAN, S.E., M.M.